Rabu, 23 Juni 2010

kepemimpin Punakawan

Petruk

Berbeda dengan filsafat Barat, yang berakar dari filsafat Yunani (Socrates
dkk.), filsafat Jawa tidak mau bersusah payah untuk berusaha menemukan apa
kiranya 'unsur zat terkecil yang tidak bisa dibagi lagi yang membentuk suatu
benda'. Bagi orang Jawa semua itu adalah urusan dan pekerjaan 'Sing Ngecet
Lombok'. Bukan tugas manusia memikirkannya.
Jika Plato setelah melalui pemikiran yang mendalam akhirnya memiliki
keyakinan bahwa: terdapat kuda sempurna di alam kekal yang menjadi
blue-print dari kuda-kuda yang ada dan kita lihat sekarang, maka bagi orang
Jawa: yang penting adalah bagaimana merawat kuda dengan baik. Dan untuk
menjadi seorang kusir dokar yang terampil kita memang tidak perlu tahu
'apakah memang benar ada kuda sempurna di alam kekal'.
Filsafat Jawa berbicara tentang hal-hal yang sederhana, namun sangat
mendasar dan mendalam. Orang Jawa tidak mau pusing-pusing memikirkan apakah
bumi berbentuk bulat ataukah lonjong, tapi yang penting adalah bagaimana
manusia menjaga keselarasan (harmoni) dengan alam semesta, dan terlebih lagi
dengan sesamanya: 'uripku aja nganti duwe mungsuh'.
Filsafat Jawa mengajarkan kehidupan yang sederhana, dan menginsyafi bahwa
harta benda tidaklah memberikan kebahagiaan yang hakiki: 'sugih durung
karuan seneng, ora duwe durung karuan susah'. Meski demikian manusia harus
bekerja: 'urip kudu nyambut gawe', dan mengetahui kedudukannya di dalam
tatanan masyarakat.
Manusia Jawa percaya bahwa setiap orang memiliki tempatnya sendiri-sendiri:
'pipi padha pipi, bokong padha bokong'. Kebijaksanaan kuno ini bahkan
selaras dengan ilmu manajemen modern yang mengajarkan bahwa setiap individu
harus memilih profesi yang cocok dengan karakternya. Setelah menemukan
bidang profesi yang cocok, hendaknya kita fokus pada bidang tersebut, sebab
jika kita tidak fokus akhirnya tak satupun pekerjaan yang terselesaikan:
'Urip iku pindha wong njajan. Kabeh ora bisa dipangan. Miliha sing bisa
kepangan.'
Berikut ini kutipan lengkap salah satu pitutur luhur yang sering disampaikan
ki dalang dalam pertunjukan wayang kulit melalui tokoh Petruk:

NGELMU KYAI PETRUK
Kuncung ireng pancal putih
Swarga durung weruh
Neraka durung wanuh
Mung donya sing aku weruh
Uripku aja nganti duwe mungsuh.
Ribang bumi ribang nyawa
Ana beja ana cilaka
Ana urip ana mati.
Precil mijet wohing ranti
Seneng mesti susah
Susah mesti seneng
Aja seneng nek duwe
Aja susah nek ora duwe.
Senenge saklentheng susahe sarendheng
Susah jebule seneng
Seneng jebule susah
Sugih durung karuan seneng
Ora duwe durung karuan susah
Susah seneng ora bisa disawang
Bisane mung dirasakake dhewe.
Kapiran kapirun sapi ora nuntun
Urip aja mung nenuwun
Yen sapimu masuk angin tambanana
Jamune ulekan lombok, bawang
uyah lan kecap
Wetenge wedhakana parutan jahe
Urip kudu nyambut gawe
Pipi ngempong bokong
Iki dhapur sampurnaning wong
Yen ngelak ngombea
Yen ngelih mangana
Yen kesel ngasoa
Yen ngantuk turua.
Pipi padha pipi
Bokong padha bokong
Pipi dudu bokong.
Onde-onde jemblem bakwan
Urip iku pindha wong njajan
Kabeh ora bisa dipangan
Miliha sing bisa kepangan
Mula elinga dhandhanggulane jajan:
Pipis kopyor sanggupira lunga ngaji
Le ngaji nyang be jadah
Gedang goreng iku rewange
Kepethuk si alu-alu
Nunggang dangglem nyengkelit lopis
Utusane tuwan jenang
Arso mbedhah ing mendhut
Rame nggennya bandayudha
Silih ungkih tan ana ngalah sawiji
Patinira kecucuran
Ki Daruna Ni Daruni
Wis ya, aku bali menyang Giri
Aku iki Kyai Petruk ratuning Merapi
Lho ratu kok kadi pak tani?

Semar
ucapan mbah semar setiap kali mau mengawali dialog :
mbergegeg, ugeg-ugeg, hmel-hmel, sak dulito, langgeng…
(diam, bergerak/berusaha, makan, walaupun sedikit, abadi)
maksudnya daripada diam (mbergegeg) lebih baik berusaha untuk lepas
(ugeg-ugeg) dan mencari makan (hmel-hmel) walaupun hasilnya sedikit (sak
ndulit) tapi akan terasa abadi (langgeng).
sebuah pesan agar kita selalu bekerja keras untuk mencari nafkah walaupun
hasilnya hanya cukup untuk makan namun kepuasan yg didapat krn berusaha tsb
akan abadi.
Punakawan dan syi'ar islam
Semar, nama tokoh ini berasal dari bahasa arab Ismar. Dalam lidah jawa kata
Is- biasanya dibaca Se-. Contohnya seperti Istambul menjadi Setambul. Ismar
berarti paku. Tokoh ini dijadikan pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran
yang ada atau sebagai advicer dalam mencari kebenaran terhadap segala
masalah. Agama adalah pengokoh/pedoman hidup manusia. Semar dengan demikian
juga adalah simbolisasi dari agama sebagai prinsip hidup setiap umat
beragama.
Nala Gareng, juga diadaptasi dari kata arab Naala Qariin. Dalam pengucapan
lidah jawa, kata Naala Qariin menjadi Nala Gareng. Kata ini berarti
memperoleh banyak teman, ini sesuai dengan dakwah para aulia sebagai juru
dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya teman (umat) agar kembali ke
jalan Allah SWT dengan sikap arif dan harapan yang baik.
Petruk, diadaptasi dari kata Fatruk. Kata ini merupakan kata pangkal dari
sebuah wejangan (petuah) tasawuf yang berbunyi: Fat-ruk kulla maa
siwalLaahi, yang artinya: tinggalkan semua apapun yang selain Allah.
Wejangan tersebut kemudian menjadi watak para aulia dan mubaligh pada waktu
itu. Petruk juga sering disebut Kanthong Bolong artinya kantong yang
berlubang. Maknanya bahwa, setiap manusia harus menzakatkan hartanya dan
menyerahkan jiwa raganya kepada Allah SWT secara ikhlas, seperti
berlubangnya kantong yang tanpa penghalang.
Bagong, berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak. Yaitu berontak
terhadap kebathilan dan keangkaramurkaan. Si "Bayangan Semar" ini
karakternya lancang dan suka berlagak bodoh.
Secara umum, Panakawan melambangkan orang kebanyakan. Karakternya
mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penghibur, kritisi sosial,
badut bahkan sumber kebenaran dan kebijakan. Para tokoh panakawan juga
berfungsi sebagai pamomong (pengasuh) untuk tokoh wayang lainnya. Pada
dasarnya setiap manusia umumnya memerlukan pamomong, mengingat lemahnya
manusia, hidupnya perlu orang lain (makhluk sosial) yang dapat membantunya
mengarahkan atau memberikan saran / pertimbangan. Pamomong dapat diartikan
pula sebagai guru / mursyid terhadap salik yang dalam upaya pencerahan jati
diri.
Karakter Panakawan (selain para tokoh lainnya) dari jalur acuan Walisongo
sebenarnya muncul berdasarkan penuturan Puntadewa/Dharmakusuma (satu-satunya
dari Pandawa yang kemudian memeluk Islam) dan Semar / Ismaya kepada Sunan
Kalijaga dalam komunikasi ghaib (yang tidak terbatasi ruang dan waktu)
sesama aulia. Dijelaskan juga bahwa selain Semar, para panakawan yang
dinyatakan sebagai anaknya (Gareng, Petruk dan Bagong) sebenarnya adalah
dari bangsa Jin.
Tokoh Panakawan dimainkan dalam sesi goro-goro. Pada setiap permulaan
permainan wayang biasanya tidak ada adegan kekerasan antara tokoh-tokohnya
hingga lakon goro-goro dimainkan. Artinya adalah bahwa jalan kekerasan
adalah alternatif terakhir. Dalam Islam pun, setiap dakwah yang dilakukan
harus menggunakan tahap-tahap yang sama. Lakon goro-goro pun menggambarkan
atau membuka semua kesalahan, dari yang samar-samar menjadi kelihatan jelas
sebagaimana sebuah doa: Allahuma arinal haqa-haqa warzuknat tibaa wa'arinal
bathila-bathila warzuknat tinaba, artinya: Ya Allah tunjukilah yang benar
kelihatan benar dan berilah kepadaku kekuatan untuk menjalankannya, dan
tunjukillah yang salah kelihatan salah dan berilah kekuatan kepadaku untuk
menghindarinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar